Pemimpin Yang Utuh
“Sejak 1918, ketika Perang Dunia I memperkenalkan penggunaan uji IQ secara masal terhadap para calon tentara Amerika Serikat. Skor IQ rata-rata di Amerika Serikat telah meningkat 24 poin dan kenaikan serupa juga tercata di Negara-negara maju seluruh dunia. Alasan kenaikan tersebut berkisar antara nutrisi yang lebih baik, lebih banyak anak-anak yang berkesempatan menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi. Adanya game komputer dan permainan teka-teki yang membantu anak-anak menguasai ketrampilan-ketrampilan berwawasan hingga semakin kecilnya jumlah anggota keluarga, yang umumnya berkolerasi dengan tingginya skor IQ pada anak-anak. Dari hasil survei besar-besaran terhadap guru dan orang tua menunjukkan bahwa anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi dibandingkan generasi terdahulu. Anak-anak sekarang secara rerata tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, lebih impulsif dan agresif ” kata Daniel Goleman.
Sekitar awal 1970-an, dipuncak maraknya protes mahasiswa sedunia menentang Perang Vietnam, seorang pustakawan di sebuah kantor US. Information Agency di luar negeri menerima kabar buruk. Sebuah kelompok mahasiswa mengancam akan membakar perpustakaannya. Kebetulan pustakawan tersebut mempunyai beberapa teman di kalangan mahasiswa yang mengeluarkan ancaman. Reaksinya mula-mula tampak konyol atau naif atau keduanya. Ia mengundang kelompok tersebut menggunakan perpustakaan untuk beberapa pertemuan mereka. Ia juga mengajak warga Amerika yang negeri bersangkutan hadir untuk mendengarkan mereka, maka terjadilah dialog bukannya konfrontasi. Pustakawan tersebut memperagakan keahliannya sebagai negosiator, atau agen perdamaian yang sangat hebat, yang mampu membaca situasi dan itulah salah satu kemampuan yang merupakan kecerdasan emosi (EQ).
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, IQ dan EQ terpisah atau bersama-sama, tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia dan juga yaan jiwa serta imajinasinya. Komputer memiliki IQ tinggi, karena dapat mengetahui aturan dan mengikutinya tanpa salah. Banyak hewan mempunyai EQ tinggi, karena dapat mengenali situasi yang ditempatinya dan mengetahui cara menanggapi situasi tersebut dengan tepat. Akan tetapi komputer dan hewan tidak pernah bertanya mengapa kita memiliki aturan atau situasi, atau apakah aturan atau situasi itu dapat diubah atau diperbaiki. Pemimpin butuh kecerdasan spiritual (SQ) yang dapat mengefektifkan IQ dan EQ. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seorang pemimpin dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang mempunyai makna dibandingkan dengan orang lain.
Nilai-nilai spritual spiritual yang umum, antara lain : kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, kerjasama, kebebasan, kedamaian, cinta, pengertian, amal baik, tanggungjawab, tenggang rasa, integritas, rasa percaya, kebersihan hati, kerendahan hati, kesetiaan, kecermatan, kemuliaan, keberanian, kesatuan, rasa syukur, humor, ketekunan, kesabaran, keadilan, persamaan, keseimbangan, ikhlas, hikmah, dan keteguhan.
Cinta kasih digunakan Mahatma Gandhi untuk meminpin 3 milyar rakyat India untuk memperoleh kemerdekaan. Dia mencintai kaum Sudra yang menderita, tidak saja dengan menerima mereka sebagai anggota keluarga, bahkan ia rela mempertaruhkan nyawa berjuang menghapus perbedaan kasta dan menggugah bangsa India agar adil terhadap sesama. Gandhi menyukai anak-anak yang lugu dan selalu menyempatkan diri bermain bersama anak-anak padepokan, dia juga suka menggendong bayi, mencium dan memanjakan mereka seperti buah hatinya sendiri. Seusai sembahyang malam anak-anak suka mengelilinginya. Setelah dewasa anak-anak ini sulit menerima kenyataan bahwa orang tua yang ramah tamah ini sesungguhnya adalah Bapak Kemerdekaan India. Dia juga mencintai musuh dan percaya bahwa setiap orang pada dasarnya baik hanya masih tertutup. Dia beranggapan, bila kata-kata tidak mampu melunakkan lawan, maka setidaknya kepolosan, kerendahan hati, dan kejujuran akan membuat orang terharu sehingga lawanpun akan menaruh iba atas kesabaran, lalu membuang jauh pikiran salah dan tak akan terjadi saling membunuh. Selain tidak ingin mencelakakan musuh, Gandhi jugberanggapan lebih baik dirinya yang menderita agar kedua belah pihak yang bermusuhan saling mengasihi. Kematiannya yang sangat ironis memberitahu kita bahwa ketulusan dan kebaikan hati saja tak akan mampu membantu sesama menjauhi tekanan, penjajahan, saling membunuh, kebencian dan tindakan yang sadis. Negara yang dicintainya terpecah belah, petani yang diperhatikan tetap miskin. Api peperangan di bumi tak surut-surut, kaki raksasa kemewahan menginjak si miskin yang merintih. Cinta itu memang ada, hanyalah bagian terbesar untuk orang lain dan yang sedikit untuk diri msendiri. Demikian tulis Kwok Yuen Ming dalam bukunya Mahatma Gandhi.
Umar bin Abdul Azis juga merupakan pemimpin yang agung dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. Pada dirinya selain sebagai khalifah (pemimpin negara), juga sebagai ulama. Dia pemimpin yang berhasil dalam memimpin negara dan masyarakat dalam bentuk yang seindah-indahnya. Sesudah Nabi Muhammad s.a.w. dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah dipraktekkan dalam bentuknya yang murni dan hakiki, kecuali di masa pemerintahannya. Ia berhasil mengubah status quo dalam revolusi kepemimpinan serta mengubah negara menjadi ”Surga dunia” yang dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Negara tersebut telah mewujudkan kemakmuran, kerukunan dan kedamaian lahir batin. Rahasianya terletak pada pesona kepribadiannya sebagai pengemudi pembina yang sederhana dalam makan, berpakaian dan berkendaraan. Untuk menunaikan ibadah haji, beliau kesulitan biaya. Ketika beliau melihat anak beliau keluar rumah berhari Raya dengan pakaian yang amat sederhana bahkan sobek, sekalipun bersih, ditengah-tengah anak-anak lain yang bermain dengan penuh gembira-ria dengan pakaian mereka yang serba baru, keluarlah air mata beliau karena terharu. Ketika meninggal hartanya hanya 17 dinar, pada hal ia keturunan bangsawan yang kaya raya. Lima dinar untuk kain kafannya, 2 dinar untuk tanah pekuburannya dan sisanya 10 dinar itulah yang dibagikan kepada 11 putranya. Bila orang datang ke rumahnya di malam hari untuk membicara masalah pribadi, maka lebih dahulu dimatikannya lampu yang dibiayai dengan uang negara, dan dinyalakan lampu minyak dari kantongnya sendiri. Ini untuk menjaga jangan sampai uang rakyat terpakai untuk hal di luar kepentingan dinas, yang sama sekali tidak diperbolehkan. Umar bin Abdul Azis memecat pejabat yang zalim (menindas), mengembalikan hak milik yang dirampas, membela rakyatnya yang tidak diperlakukan adil di pengadilan, dan mengembalikan Gereja kepada kaum Nasrani. Ketika sedang membagikan apel kepada rakyatnya. Tiba-tiba anaknya yang kecil mengambil apel itu kemudian dimasukkan ke mulutnya. Umar pun menepuk tangan mengambil apel di mulut anaknya itu, sehingga anaknya menangis dan lari ke ibunya. Akhirnya istrinya pergi ke pasar membeli apel. Di Masjid, Umar menyenggol kaki laki-laki yang sedang tidur, laki spontan berkata ”Apakah engkau gila?”. Umar menjawab ”Tidak”. Mendengar perkataan laki-laki, pengawalnya marah bergerak untuk memukulnya, tetapi Umar menyabarkan pengawalnya ”Orang itu tidak berbuat apa-apa , dia cuma bertanya apakah engkau gila? Yang saya jawab dengan Tidak.” Umar merupakan khalifah yang rendah hati, tidak pernah bohong dan takut pada azab akhirat. SQ memungkinkan pemimpin menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ memberikan kemampuan pemimpin untuk membedakan, terikat akat moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasnya. Pemimpin menggunakan SQ untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, serta membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi dan menjadikan pemimpin tersebut rendah hati. SQ menjadikan pemimpin yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.