Melakukan Perubahan atau Mati
Organisasi harus melakukan perubahan untuk dapat menyesuaikan dengan lingkungaanya yang kompetitif. Perubahan bersangkut-paut dengan perihal membuat sesuatu dengan lain. Teknologi, persaingan, kejutan ekonomi, perubahan sosial, angkatan kerja dan politik dunia merupakan kekuatan yang merangsang perubahan. Teknologi informasi yang canggih dapat mengubah cara bersaing, sehingga dapat meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan. Meskipun demikian CEO Unilever, Floris A. Maljers mengatakan ”Kendala terbesar yang dihadapi perusahaan dalam menghadapi globalisasi adalah terbatasnya sumberdaya manusia, bukan terbatasnya modal”.
Dalam buku Why Companies Fail, Mark Ingebretsen mengatakan “Perusahaan harus memprediksi masa depan untuk mendeteksi tren-tren yang harus mereka hadapi jika ingin terus menghasilkan laba. Perusahaan juga harus merancang cara untuk mengadapsi produk-produk dan layanan-layanan mereka demi menjangkau grup-grup konsumen yang belum terdefinisikan. Yang paling penting dari semua ini, perusahaan harus menyadari kenyataan bahwa perubahan berskala besar adalah kelaziman, sementara perubahan-perubahan yang mengguncang dunia adalah bagian dari kelaziman baru. Karenanya mereka harus mengarahkan strategi untuk menghadapi perubahan. Serangan 11 September dengan tragis memperlihatkan bagaimana kejadian mengubah segalanya, kadang-kadang hanya dalam waktu semalam.” Pemimpin yang sukses bertindak luwes dan luwes dalam menghadapi perubahan. Bahkan, ia merasa senang akan perubahan yang menyentuh dirinya yang paling dalam.
Kebanyakan perusahaan mati, karena bawahan harus selalu mengikuti pemimpinnya yang tidak pernah berubah. Ahli sejarah, Alfred D. Chandler, Jr, didalam bukunya berjudul Strategy and structure kemajuan perusahaan-perusahan Amerika, karena mau melakukan perubahan, khususnya dalam sistem manajemennya. Chandler meneliti empat perusahaan besar Amerika, yaitu General Electric, Du-Pont, Standard Oil company dan Exxon. Kesediaan berubah dari CEO keempat perusahaan tersebut yang menjadikan perusahaan tersebut hingga kini tetap bertahan.
Karyawan adalah nasi, sedangkan gaya manajemen adalah lauknya. Jack Welch, CEO dari General Electric ketika itu mengatakan “Kita sedang mempertaruhkan sesuatu hal kepada orang-orang kita, maka kita perlu memberdayakan mereka, memberi mereka sumber-sumber dan keluar dari kesulitan dengan menggunakan cara mereka”. Jack Welch menginvestasikan separuh waktunya bersama karyawannya, maka ia mengenal mereka, berbicara dengan mereka tentang masalah-masalah perusahaan, memuji mereka jikan kinerjanya baik, tetapi mencaci mereka jika kinerjanya turun. Ia mengenal sekitar 1000 karyawannya yang mempunyai ide bagus dan mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan mereka. Pendekatan pribadi yang dilakukan Jack Welch kepada karyawannya membuahkan kasil yang luar biasa pada peningkatan kinerja. “Jika Anda menang, kita semua menang” demikianlah kata Welch. Itulah sebabya 27.000 karyawan General Electric memiliki saham. Pada 2001, General Electric terpilih sebagai ”The Most Admired Company in The World” peringkat pertama versi Fortune. “Dua pemimpin korporat terbesar abad ini adalah Alfred Sloan dari General motors dan Jack Welch dari General Electric. Dan Welch akan jadi lebih besar dari keduanya, karena merencanakan paradigma baru, kontemporer, bagi korporasi yang modelnya dipakai untuk abad 21,” ujar Noel Tichy, dari Universitas Machigan, pengamat lama gaya manajerial Wech. Dengan demikian, apakah kita akan melakukan perubahan atau mati ?