Mengubah Mindset Globalisasi
Menurut Sri Edi Swasono, globalisasi dan pasar-bebas memang diimajinasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi global. Saat ini imajinasi dan upaya itu ditumpahkan kepeda organisasi dunia WTO, pengganti GATT, yang mematok pakem-pakem ekonomi pasar bebas untuk mencapai efisiensi golal. Namun dari kenyataan empirik yang ada, membuat banyak diantara kita harus bersikap menolak dan reaksioner. Tentulah dalam prakteknya si lemah harus membiayai efisiensi dunia demi kesejahteraan di kuat. Selatan membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara. Oleh karena itu pasar ramah terhadap rakyat dan terhadap kepentingan nasional. Market failures atau kegagalan-kegagalan pasar terjadi dimana-mana, tidak saja disebabkan oleh tuntutan kondisional untuk dapat terwujudnya pasar yang self – requlating tidak terpenuhi (karena asumsi terwujudnya persaingan-bebas yang valid untuk terbentuknya pasar bebas terbukti tidak empirik-realistik), tetapi juga karena adanya kepentingan-kepentingan ekonomi dan nonekonomi yang harus diraih dan dipertahankan untuk melalui upaya mendistorsi pasar secara nyata. Yang dikemukakan diatas bukanlah suatu ekstremitas, tetapi merupakan suatu upaya untuk menunjukkan polarisasi dikotomis demi mempertajam pembandingan analitikal. Sri Edi Swasono juga mengatakan bahwa, globalisasi mulai banyak dikecam karena menyandang adu kekuatan dan peragaan dominasi ekonomi, tak terkecuali oleh orang-orang Barat dan Utara sendiri yang peduli akan pentingnya mewujudkan keadilan ini datang dari kalangan akademisi kelas dunia, NGO’s, mantan praktisi Bank Dunia dan IMF, tak terkecuali para pemenang hadiah Nobel Ekonomi. Bahkan telah lahir buku tentang perlunya “mewujudkan demokrasi ekonomi global sebagai perjuangan politik abad ke 21”. Namun para market fundamentalists Indonesia tetap membelenggu diri dalam orthodoxy dan servility. Bahkan Stiglitz menyampaikan beberapa pokok pemikiran sebagai berikut:
Pertama, ia menekankan pentingnya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam perumusan kebijakan ekonomi. Hal ini tidak hanya berlaku pada tingkat nasional tetapi juga internasional. Pada tingkat internasional, perubahan hak-suara perlu dilakukan di IMF dan Bank Dunia. Sesuai dengan anggaran dasar IMF, keputusan dapat diambil jika didukung sekurang-kurangnya 85% suara. Padahal AS memiliki 18% hak suara sesuai dengan kontribusi modalnya di IMF. Ini berarti tak akan pernah ada keputusan IMF yang tanpa persetujuan AS. Cina yang berusaha menambah setoran modalnya ditolak mentah-mentah oleh AS dengan berbagai alasan. Pada tingkat nasional, terlepas dari pilihan ideologi, nilai-nilai dan selera dari masing-masing negara, pengambilan keputusan yang demokratis diperlukan dalam kaitan memposisikan peran pemerintah dan pasar. Ia telah belajar banyak dari kegagalan pasar maupun pemerintah. Pasar tidak dapat dengan sendirinya mengatasi semua persoalan kemasyarakatan. Demikian pun, pemerintah tidak dapat mengatasi semua kegagalan pasar. Bagaimanapun, pemerintah harus memainkan peran penting dalam mengatasi isu-isu pokok seperti ketimpangan, pengangguran, dan polusi. Dalam kaitan negara kita, jauh-jauh hari, Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan perekonomian yang demokratis itu. Pada pasal itulah tercantum dasar demokrasi ekonomi kita.
Kedua, IMF dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan guna menggalang aksi kolektif dalam menciptakan stabilitas ekonomi global, tetapi kini cenderung bekerja sebagai kepanjangan tangan komunitas keuangan di AS. Buktinya adalah bahwa IMF telah “memaksakan” pelaksanaan paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai kebijakan Konsensus Washington kepada seluruh negara di dunia. Padahal konsensus yang disusun oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS itu semula merupakan paket kebijakan untuk mengatasi persoalan defisit anggaran dan hiperinflasi negara-negara Amerika Latin, tetapi kemudian oleh IMF dijadikan model baku yang harus diikuti oleh seluruh negara di dunia. Bagi Stiglitz, kebijakan yang dipaksakan IMF itu, yang antara lain adalah pengetatan ikat-pinggang, privatisasi BUMN, dan liberalisasi, selain bertentangan dengan pengambilan keputusan yang demokratik juga melecehkan kedaulatan negara, serta mengandung banyak hal yang membahayakan. Misal dengan pencabutan subsidi BBM di tengah-tengah situasi krisis yang ditandakan dengan maraknya pengangguran dan kemiskinan, maka dapat merusak tatanan sosial yang ada yang bermuara pada pecahnya kerusuhan. Contoh lain adalah privatisasi BUMN yang bermakna mereka tidak perlu lagi membatasi bagian laba tahunannya, dan dengan menjual perusahaan itu di bawah harga pasar, maka mereka dapat menerima bagian yang cukup besar dari nilai asset tersebut untuk diri mereka sendiri.
Ketiga, perhatian Stiglitz yang besar terhadap perekonomian Indonesia dan peranan IMF di negara kita yang pada intinya, IMF telah melakukan “malpraktek” di sini. Pertama, Stiglitz menunjukkan watak kolonial IMF dengan memperlihatkan photo Michael Camdessus tahun 1998 yang posisi bersidekap menyaksikan Soeharto membungkuk menandatangani LoI. Photo ini bermakna ribuan kata teristimewa bagi negara-negara bekas-jajahan. Malpraktek kedua, ketika IMF memerintahkan penutupan sejumlah bank. Malapetaka pun terjadi. Para deposan ramai-ramai menarik tabungan mereka untuk menyelamatkan diri, dan memindahkannya ke bank pemerintah, sehingga terjadilah depresi. Ketiga, kegagalan IMF memahami makna transformasi sosial yang seharusnya diperhitungkannya pada setiap proses pembangunan, bahkan mengabaikannya. Pencabutan subsidi bermuara pada kerusuhan sosial, dan tidak hanya merusak tatanan sosial tetapi juga membangkrutkan ekonomi. Jadi, menurut Stiglitz, penghapusan subsidi tidak hanya merupakan kebijakan sosial yang buruk, tetapi juga kebijakan ekonomi yang buruk.
Joseph Stiglitz
Dari pemaparan pemikiran Stiglitz itu maka ia menganjurkan agar setiap bangsa, dan memang wajib, mencari jalan sendiri di luar kebijakan Konsensus Washington. Kedua, perlunya mentransformasikan globalisasi ala Konsensus Washington itu menuju ke sebuah globalisasi berwajah kemanusiaan. Ia memandang globalisasi sebagai alat dan bukan tujuan. Dalam kaitan ini maka Stiglitz mengakhiri buku ini dengan menyatakan : “Negara-negara maju sepatutnya ambil bagian dalam mereformasi lembaga-lembaga internasional yang memandu globalisasi. Kita membentuk lembaga-lembaga tersebut, dan kita patut bekerja untuk membenahinya”.
Demikian juga, Petras dan Velmeyer mengatakan bahwa, globalisasi, adalah the new imperialism, dalam bentuknya sebagai the new system of “global internasional capitalist class, yaitu TNCs (transnational corporations yang saat ini mencapai jumlah 37.000), Bank Dunia, IMF, IFIs (international financial institutions sebagai “the global financial network), G-7,TC (Trilateral Commission dan WEF (the World Economic Forum) Lebih lanjut Petrans dan Veltmeyer menyatakan :
“…the dynamics of globalization in Asia, the ex USSR, Africa and Latin America are creating tremendous hardships but also provide an historic opportunity to transcend capitalism. It would be a failure of nerve of historic proposition to settle for anything less than a ‘new’ socialist society, the new nation as an integral whole, a new culture of participants and not spectators a new internalism of equals…”.
Dalam pandangan Bung Hatta, hubungan antara krisis ekonomi dan kapitalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi sekeping mata uang yang sama. Artinya, baik dalam era kapitalisme muda (kapitalisme perniagaan) maupun kapitalisme raja (kapitalisme industri), krisis ekonomi adalah sesuatu yang melekat dalam tubuh kapitalisme. Penyebab utamanya adalah sifat keserakahan yang bermuara pada berkembangnya kecenderungan untuk melakukan spekulasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam era kapitalisme perniagaan, spekulasi dimotori oleh para pedagang. Hal ini terutama didorong oleh terjadinya perluasan pasar yang disebabkan oleh dihapuskannya batas-batas perkotaan. Karena kuatnya ambisi para pedagang untuk memperluas jangkauan pasarnya, sifat produksi kemudian berubah dari produksi berdasarkan pesanan menjadi produksi untuk menguasai pasar. Keserakahan dan spekulasi para pedagang inilah yang bermuara pada terjadinya kelebihan produksi. Akibatnya, harga-harga merosot, dan sejumlah pedagang mengalami kebangkrutan. Dalam era kapitalisme industri, yang ditandai oleh terjadinya pembagian fungsi antara para produsen dengan para pedagang, perluasan pasar mulai menembus batas-batas kenegaraan. Akibatnya, sifat produksi cenderung bergeser dari untuk memuaskan permintaan dalam negeri menjadi untuk menguasai pasar dunia. Pertalian (interdependency) antar satu cabang produksi dan perekonomian dengan cabang produksi dan perekonomian yang lain, cenderung meningkat.
Bung Hatta
Bung Karno mengatakan, “Didalam salah satu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus menentang kapitalisme bangsa sendiri……Apakah kapitalisme itu? …. Kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi, yang karenanya menjadi sebabnya meerwarde tidak jatuh didalam tangannya kaum buruh melainkan jatuh didalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrial reserve armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan,” (Sukarno, op.cit. hal 181).
Bung Karno
Sebagaimana dikemukakan Dillard, “Persaingan antara perusahaan-perusahaan kapitalis cenderung membuat semuanya tersisih, kecuali sejumlah kecil perusahaan besar. Karena lemahnya daya beli massa, perusahaan-perusahaan besar ini tidak mampu menggunakan kapasitas produksi yang telah mereka bangun. Maka mereka pun terdorong untuk menyerbu pasar-pasar asing dan menolak barang-barang asing dari pasar mereka sendiri melalui tarif-tarif protektif. Situasi ini menimbulkan kebijakan-kebijakan luar negeri yang kolonial agresif dan perang-perang imperialis.” Dari penjelasan Dillard itu dapat disaksikan dengan jelas betapa penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, secara substansial memang tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan ekspansionis yang melekat dalam tubuh kapitalisme. Dengan demikian, mudah dimengerti bila penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, diawali oleh penjajahan yang dilakukan oleh VOC. VOC jelas bukan sebuah institusi politik, tetapi sebuah institusi ekonomi. Dengan demikian, motif penjajahan yang dilakukannya, dengan sendirinya lebih sarat dengan orientasi ekonomi daripada politik.
Oleh karena itu, Sri Edi Swasono mengatakan bahwa dalam WTO kita harus tetap reaksioner, kita harus berani merevisi dan terus menerus membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tidak merugikan kepentingan nasional dengan tetap menghormati tanggung jawab global kita. Sekalipun sebagai ekonom, kita sekali lagi harus mampu menghayati relaita yang ditegaskan baik oleh Joan Robinson, tentang ilmu ekonomi yang memiliki akar ke dalam nasionalisme, maupun oleh Leah Greenfeld seperti telah dikemukan diatas. Artinya pengembangan pemikiran ekonomi nasional dalam konteks global pun perlu mengacu kepada histori, ideologi, institusi dan aspirasi nasional, yang selanjutnya harus memberi warna terhadap theory building and modeling ; dengan kata lain menolak paham the neutrality of theory.
Saat ini kesadaran global itu telah memunculkan berbagai global common interest , seperti pembangunan sosial, pembrantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, memperkokoh solidaritas global, mempererat integrasi sosail, proteksi dan pemeliharaan lingkungan dll, bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terorisme dalam berbagai bentuknya (sebagaimana yang telah ditetapkan dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB). Tanggung jawab global ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara didunia.
Akibat-akibat sosial ekonomi, sosial politik dan sosial kultural yang ditimbulkan oleh pesaingan bebas dan pasar bebas telah saya gambarkan, jelas banyak bertentangan dengan global interests diatas.
Globalisasi dan wujud globalisasi masih dalam proses mencari bentunknya. Seperti dikatakan diatas, we need global sociaty to support a global economy. Tak seorang pun tahu format dan hubungan antar keduanya, terlalu kompleks dan masih sulit dirumuskan. Thurow memberikan gambaran menarik tentang globalisasi dari segi proses sebagai berikut :
“…learning how make this new global economy work will take a substantial amount of time, with lots of surprises and mistakes along the way. But the transition from national to global is going to be far more turbulent than the transition from local to national. When the world was moving from local to national economies, it already had national governments ready to learn how to manage the process. In contrast, there is no global government to learn how the new global economy should be managed…Nothing is more disliked in the U.S. Congress than word ‘super national’ :no one is going to set up a global government in the foreseeable future-regardless of whether it is or is not needed. As a result, the world is going to have a global economy without a global government. This means a global economy with no enforceable, agreed-upon set of rules anda regulations, no sheriff to appeal to if one fels that justice is not beiang done…”
Sementara itu Presiden George W Bush di Monterrey, Mexico tanggal 22 Maret 2002, dalam rangka National Security Strategy Amerika Serikat terus menegaskan semangat persaingan bebas, yang dikemas dalam suatu prinsip moral berdasar kebebasan, tanpa mempertimbangkan kemampuan berbeda-beda dari yang bersaing atau tersaingi. Inilah globalisasi, suatu market ideology kaum neoliberal Anglo-Amerika, yang sesuai dengan makna globalisasi sebagaimana dikemukakan oleh Henry Kissinger dan Thomas L.Friedman. Mengenai American domination dan proses Americanization. pidato Presiden Geroge W Bush sebagi berikut :
“…The concept of “free trade’aorase as a moral principle even before it become a pillar of economic. If you can make something that others value, you should be able to sell it to them. If ohers make something that you value, you should be able to buy it. This is real freedom, the freedom for a person or a nation to make a living…”
Menurut Sri Edi Swasono, dalam masa transisi (proses globalisasi) ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi hegemonik, baik ekslusif ekonomi maupun kelanjutannya yang berupa dominasi politik dan kultural, harus kita hadapi melalui empat fronts :
Pertama, melalui uasaha masing-masing negara untuk bebenah diri sendiri guna meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional ke arah mengurangi ketergantungan pada pihak luar secara tandas.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali denga kerjsama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indoensia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan diadalammnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF”, dst.
Ketiga, bergabung dan meningkatkan keterlibatan Indonesia dengan gerakan-gerakan di forum internasional yang menentang ketidakadilan inheren dari globalisasi sebagaimana yang terjadi saat ini, disertai kesadaran tentang perlunya berbagai koreksi harus kita lakukan terhadap proses perkembangan globalisasi yang menudutkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Keempat, semangat kerjsama dan kesadaran global ini harus dapat kita manfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita.
Bab ini saya maksudkan untuk mengajak kita semua agar mewaspadai globalisasi. Namun untuk globalisasi yang berwacana ataupun berselimut kapitalisme impereliastik, tentu harus sepenuhnya kita tolak. Ini merupakan platform ideologi yang harus kita pertahankan.
Dalam platform ini, sebagai kecenderungan alamiah, kita harus mampu memanfaatkan proses globalisasi, yang menyediakan penuh peluang dan prospek kemajuan. Marilah kita go global dengan local specifics. Go global artinya ikut proaktif menyusun global rules of the game, ikut membentuk mekanisme (dan wujud) globalisasi. Merencanakan dan membentuk keunggulan komparatif domestik adalah tugas memperkukuh local specifics. Ini harus menjadi sikap budaya kita. Dengan demikian kepemimpinan yang digunakan juga gaya kepemimpinan yang spesifik, yaitu kepemimpinan gaya Indonesia.